Home > Mei 2013

Mei 2013

Hukum Mengharapkan Kematian

Jumat, 10 Mei 2013 Category : , , 0


Berdoa meminta kematian adalah perkara yang tidak disukai di dalam Islam (makruh), terlebih lagi apabila permintaan supaya mati itu disebabkan karena perkara-perkara yang bersifat duniawi.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ مُتَمَنِّيًا لِلْمَوْتِ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتْ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتْ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي

“Janganlah salah seorang dari kalian sekali-kali mengharapkan kematian disebabkan karena bahaya yang menimpanya. Apabila memang harus mengharapkan kematian maka hendaklah dia berdoa: “Ya Allah, hidupkanlah aku selama hidup itu lebih baik untukku, dan wafatkanlah aku apabila kematian itu lebih baik untukku.” [HR Al Bukhari (6351) dan Muslim (2680) dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.]

Imam An Nawawi rahimahullah berkata di dalam Syarh Shahih Muslim: “Pada hadits ini terdapat penjelasan tentang dimakruhkannya mengharapkan kematian karena adanya bahaya yang menimpa dirinya seperti penyakit, kemiskinan, cobaan, hidup, ataupun yang sejenisnya dari kesulitan-kesulitan dunia.”

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda:

لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ يَزْدَادُ وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ يَسْتَعْتِبُ

“Janganlah salah seorang dari kalian mengharapkan kematian karena jika dia seorang yang berbuat baik, maka barangkali dia akan bertambah kebaikannya; dan jika dia adalah seorang yang berbuat kejelekan, maka barangkali dia akan berubah.”[HR Al Bukhari (7235)]

Namun, apabila bahaya yang menimpanya adalah sesuatu yang bisa membahayakan keimanannya jika dia tetap hidup, maka di saat seperti ini dia diperbolehkan untuk meminta kepada Allah agar diwafatkan segera.

Allah berfirman tentang kisah Maryam ibunda Isa yang meminta kepada Allah agar diwafatkan:

فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا

“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa dia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, Dia berkata: “Aduhai, Alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi orang yang tidak berarti, lagi dilupakan.” [QS Maryam: 23]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya: “Di dalam ayat ini terdapat dalil tentang bolehnya mengharapkan kematian ketika menghadapi fitnah (cobaan dalam agama), karena dia (Maryam) mengetahui bahwa dia akan diberikan bala dan ujian dengan anak yang lahir ini (yaitu Nabi Isa ‘alaihis salam) yang mana masyarakat tidak akan menanggapi kejadian ini dengan benar dan tidak akan mempercayai ucapannya setelah sebelumnya mereka mengenalnya sebagai seorang wanita ahli ibadah lalu kini telah berubah -menurut persangkaan mereka- menjadi seorang wanita pezina.”

Hal ini juga pernah terjadi pada Imam Al Bukhari rahimahullah. Beliau meminta kepada Allah agar diwafatkan karena mengalami tekanan yang sangat keras dari pihak penguasa dan merasa tidak sanggup lagi untuk menahannya. Beliau berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya bumi ini telah terasa sempit bagiku, maka ambillah diriku kepada-Mu.” Ternyata tidak sampai sebulan setelah beliau berdoa, lalu Allah mengambil (mewafatkan) beliau. Demikian.

»»  Lanjutkan...

Hadits-Hadits Lemah Seputar Puasa Rajab

Category : , , 0


Di awal kitabnya yang berjudul Izhharul ‘Ajab fii Bida’i Syahri Rojab hal. 7-28, ‘Uqail bin Zaid Al-Muqthiry -hafizhohullah- menyebutkan 29 hadits mengenai keutamaan bulan Rajab, 20 hadits di antaranya berkenaan dengan keutamaan berpuasa di bulan Rajab. Akan tetapi semua hadits-hadits tersebut beliau hukumi sebagai hadits yang lemah -tidak ada satupun yang shohih-, bahkan tidak sedikit di antaranya yang merupakan hadits palsu. Berikut kami akan nukilkan sebagian di antaranya:
  1. Dari Abu Sa’id Al-Khudry -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’, “…Barangsiapa yang berpuasa di bulan Rajab karena keimanan dan mengharap pahala, maka wajib (baginya mendapatkan) keridhoan Allah yang terbesar”. Ibnul Jauzy –rahimahullah- berkata dalam Al-Maudhu’at (2/206), “Ini adalah hadits palsu atas Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-”. Dan hadits ini juga dinyatakan palsu oleh As-Suyuthy dalam Al-La`alil Mashnu’ah2 (2/114), Ibnu Hajar dalam Tabyinul ‘Ajab, dan Ibnu Qoyyim dalam Al-Manar hal. 95.
  2. Dari Anas -radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’, “Barangsiapa yang berpuasa 3 hari di bulan Rajab, Allah akan menuliskan baginya (pahala) puasa sebulan. Barangsiapa yang berpuasa 7 hari di bulan Rajab, Allah akan menutup baginya 7 pintu neraka. Barangsiapa yang berpuasa 8 hari di bulan Rajab, Allah akan membukan baginya 8 pintu surga. Barangsiapa yang berpuasa setengah bulan dari bulan Rajab, Allah akan menetapkan baginya keridhoan-Nya, dan barangsiapa yang Allah tetapkan untuknya keridhoan-Nya maka Dia tidak akan menyiksanya. Dan barangsiapa yang berpuasa Rajab sebulan penuh, maka Allah akan menghisabnya dengan hisab yang mudah”. Ibnul Jauzy –rahimahullah- berkata, “Ini adalah hadits yang tidak shohih”, dan beliau menyebutkan bahwa di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Aban –dan dia adalah rowi yang ditinggalkan haditsnya (arab: Matruk)- dan ‘Amr ibnul Azhar –sedang dia adalah seorang pembuat hadits palsu-. Semisal dengannya dinyatakan oleh As-Suyuthy dalam Al-La`alil (2/115).
  3. Dari ‘Ali –radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’, “Barangsiapa yang berpuasa satu hari darinya –yakni dari bulan Rajab- maka Allah akan menuliskan baginya (pahala) berpuasa 1000 tahun”. Ibnul Jauzy –rahimahullah- berkata, “Ini adalah hadits yang tidak shohih”. Di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Ishaq bin Ibrahim Al-Khotly, seseorang yang diangap pemalsu hadits. Oleh karena itulah hadits ini dinyatakan palsu oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dan Imam As-Suyuthy.
  4. Dari Abu Dzar –radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’, “Barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan Rajab, maka (nilai puasanya) setara dengan puasa sebulan …”. Di dalam sanadnya terdapat Al-Furot ibnus Sa‘ib, Ibnu Ma’in berkata tentangnya, “Tidak ada apa-apanya (arab: Laisa bisyay‘in)”, Al-Bukhary dan Ad-Daruquthny berkata, “Ditinggalkan haditsnya (arab: Matruk)”. Dan hadits ini dihukumi palsu oleh As-Suyuthy –rahimahullah- dalam Al-La`alil (2/115).
  5. Dari Al-Husain bin ‘Ali radhiallahu Ta’ala ‘anhu secara marfu’, “Barangsiapa yang menghidupkan satu malam dari Rajab (dengan ibadah) dan berpuasa satu hari (darinya), maka Allah akan memberi dia makan dari buah-buahan surga dan Allah akan memakaikan dia sutra dari surga …”. Ibnul Jauzy –rahimahullah- berkata, “Ini adalah hadits palsu, yang tertuduh memalsukannya adalah Hushoin”. Imam Ad-Daruquthny berkomentar tentang orang ini, “Dia sering membuat hadits (palsu)”.
  6. Dari Anas –radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’, “Barangsiapa yang berpuasa pada hari Kamis, Jum’at, Sabtu di setiap bulan haram, maka akan dituliskan baginya ibadah 700 tahun”. Al-Hafizh Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata, “Kami meriwayatkannya dalam Fawa`id Tammam Ar-Rozy dan di dalam sanadnya terdapat rowi-rowi yang lemah dan yang tidak dikenal”.
  7. Dari Anas –radhiallahu Ta’ala ‘anhu-, secara marfu’, “Sesungguhnya di dalam surga ada sebuah sungai yang bernama Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan lebih manis daripada madu. Barangsiapa yang berpuasa sehari di bulan Rajab maka Allah akan memberi minum kepadanya dari sungai tersebut”. Hadits ini dari jalan Manshur bin Zaid dari Muhammad ibnul Mughirah, Adz-Dzahaby berkata tentang Manshur, “Tidak dikenal dan haditsnya batil”. Dan Ibnul Jauzy berkata –setelah membawakan hadits ini dalam Al-‘Ilalul Mutanahiyah (2/555)-, “Hadits ini tidak shohih, di dalamnya ada rowi-rowi yang majhul, kami tidak mengetahui siapa mereka”.
  8. Dari Abu Hurairah –radhiallahu Ta’ala ‘anhu- beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak pernah berpuasa setelah Ramadhan kecuali pada bulan Rajab dan Sya’ban”. Berkata Al-Hafizh, “Ini adalah hadits yang mungkar dikarenakan Yusuf bin ‘Athiyyah, dia adalah (rowi) yang sangat lemah”.
  9. Dari Anas –radhiallahu Ta’ala ‘anhu- secara marfu’, “Aku diutus sebagai nabi pada tanggal 27 Rajab, barangsiapa yang berpuasa pada hari itu maka hal itu merupakan kaffarah (penghapus dosa) selama 60 bulan”. Al-Hafizh –rahimahullah- berkata, “Kami meriwayatkannya dalam Juz min Fawa`id Hannad An-Nasafy dengan sanad yang mungkar”. Dan dalam hadits ‘Ali secara marfu’, “ … Barangsiapa yang berpuasa pada hari itu dan berdo’a ketika dia berbuka maka hal itu merupakan kaffarah selamah 10 tahun”. Al-Hafizh berkomentar tentangnya, “Kami meriwayatkannya dalam Fawa`id Abil Hasan bin Shokhr dengan sanad yang batil”. (http://al-atsariyyah.com/keutamaan-puasa-rajab.html)

Adakah Anjuran Puasa di Bulan Rajab?
Ada faedah berharga dari Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai amalan di bulan Rajab termasuk berpuasa ketika itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
أَمَّا تَخْصِيصُ رَجَبٍ وَشَعْبَانَ جَمِيعًا بِالصَّوْمِ أَوْ الِاعْتِكَافِ فَلَمْ يَرِدْ فِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ وَلَا عَنْ أَصْحَابِهِ . وَلَا أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ بَلْ قَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ . أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ إلَى شَعْبَانَ وَلَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنْ السَّنَةِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ مِنْ أَجْلِ شَهْرِ رَمَضَانَ . وَأَمَّا صَوْمُ رَجَبٍ بِخُصُوصِهِ فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا ضَعِيفَةٌ بَلْ مَوْضُوعَةٌ لَا يَعْتَمِدُ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى شَيْءٍ مِنْهَا وَلَيْسَتْ مِنْ الضَّعِيفِ الَّذِي يُرْوَى فِي الْفَضَائِلِ بَلْ عَامَّتُهَا مِنْ الْمَوْضُوعَاتِ الْمَكْذُوبَاتِ
”Adapun mengkhususkan bulan Rajab dan Sya’ban untuk berpuasa pada seluruh harinya atau beri’tikaf pada waktu tersebut, maka tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan para sahabat mengenai hal ini. Juga hal ini tidaklah dianjurkan oleh para ulama kaum muslimin. Bahkan yang terdapat dalam hadits yang shahih (riwayat Bukhari dan Muslim) dijelaskan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa banyak berpuasa di bulan Sya’ban. Dan beliau dalam setahun tidaklah pernah banyak berpuasa dalam satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban jika hal ini dibandingkan dengan bulan Ramadhan.
Adapun melakukan puasa khusus di bulan Rajab, maka sebenarnya itu semua adalah berdasarkan hadits yang seluruhnya lemah (dho’if) bahkan maudhu’ (palsu). Para ulama tidaklah pernah menjadikan hadits-hadits ini sebagai sandaran. Hadits-haditsnya bukanlah hadits yang memotivasi beramal (fadhilah amal), bahkan kebanyakannya adalah hadits yang maudhu’ (palsu) dan dusta.” (Majmu’ Al Fatawa, 25/290-291)
So …. tidak ada yang istimewa dengan puasa di bulan Rajab kecuali jika berpuasanya karena bulan Rajab adalah di antara bulan-bulan haram, namun tidak ada keistimewaan bulan Rajab dari bulan haram lainnya. Yang tercela sekali adalah jika puasanya sebulan penuh di bulan Rajab sama halnya dengan bulan Ramadhan atau menganggap puasa bulan Rajab lebih istimewa dari bulan lainnya. Juga tidak ada pengkhususan berpuasa pada hari tertentu atau tanggal tertentu di bulan Rajab sebagaimana yang diyakini sebagian orang.
Ibnu Shalah rahimahullah berkata, “Tidak ada hadits shahih yang melarang atau menganjurkan secara khusus berpuasa di bulan Rajab maka hukumnya sama saja dengan bulan lainnya yaitu anjuran berpuasa secara umum."

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak ada larangan demikian pula anjuran secara khusus untuk berpuasa di bulan Rajab akan tetapi secara umum hukum asal puasa adalah dianjurkan." Wallahu a'lam.


Jika memiliki kebiasaan puasa Senin-Kamis, puasa Daud, atau puasa ayyamul biid, maka tetap rutinkanlah di bulan Rajab. Bahkan bulan Ramadhan semakin dekat, maka segeralah qodho puasa Ramadhan yang ada jika memang masih ada utang puasa. Semoga Allah beri taufik untuk tetap beramal sholih.


»»  Lanjutkan...