Menyaksiakan fenomena di zaman sekarang ini yakinlah bahwa kecantikan
bisa menjadi tirani yang memenjarakan seorang wanita sehingga menjadi
budaknya.
Kecantikan saat ini layaknya berhala yang dipuja. Seorang wanita bisa mengisolasi diri berjam-jam dan merogoh kocek yang fantastis
hanya untuk tampil menawan. Wanita lainnya rela melakukan ritual apa
pun yang bisa membuatnya tampil cantik dan menarik. Mulai dari
berlapar-lapar dengan diet super ketat, menjauhi makanan yang halal lagi
baik demi mendapatkan bentuk tubuh yang proporsional, sedot sana sini,
dempul sana sini, agar terlihat seperti bintang iklan yang mempromosikan
sebuah produk kecantikan. Padahal bukan rahasia kalau foto atau gambar
bintang yang ditampilkan dalam iklan tersebut telah mengalami ‘retouched’
dengan perangkat teknologi canggih agar terlihat sempurna. Yang lebih
parah lagi, sebagian bahkan rela merusak agamanya, mendatangi para dukun
dan tukang tenung hanya untuk bisa tampil cantik dan menarik.
Kecantikan memang sudah sejak lama tidak lagi menjadi kesenangan
pribadi yang rahasia bagi kaum wanita. Kecantikan telah menjadi ‘barang publik’
yang bisa dinikmati siapa saja yang melihatnya. Dan sebagaimana
layaknya barang publik, ada tuntutan untuk memberi layanan prima,
sehingga para wanita selalu berusaha untuk tampil cantik dalam segala
kesempatan. Tidak terkecuali wanita muslimah dengan jilbab trendi mereka. “Tampil cantik dengan berjilbab”,
itu adalah moto sebagian orang. Soal pakaiannya benar-benar syar’i atau
tidak, itu urusan lain. Yang penting kepala dan seluruh tubuh atau
aurat ‘terbalut’ dengan ‘indah.
Saya ingin mengutip tulisan Ismail Adam Patel dalam bukunya ‘Islam, the Choice of Thinking Women’ terkait masalah ini. Dia mengatakan:
Kecantikan telah menjadi nilai tukar, dan seperti uang, sangat dicari
oleh para wanita. Namun demikian, ia lebih sukar untuk dijangkau
daripada pound atau dollar, karena kaum laki-laki terus mendevaluasi ’nilai tukar’
tersebut. Tidak ada standar yang universal: ”Kecantikan” adalah sebuah
berhala yang diciptakan oleh kaum laki-laki Barat, yang menaikkan dan
merubah standar sekehendaknya, menjadikannya tidak mungkin untuk diraih
oleh ibu, saudari atau anak perempuannya. Kecantikan wanita tidak ada
hubungannya dengan wanita: kecantikan adalah segala hal mengenai intuisi
dan kekuasaan laki-laki. Di Barat, hak laki-laki untuk memberikan
penilaian terhadap penampilan wanita tanpa dirinya sendiri tunduk pada
penilaian cermat (seperti yang dilakukannya kepada wanita-pent),
dipandang sebagai pemberian Tuhan.
Ketika para wanita kulit putih kelas menengah melemparkan celemek
mereka dan berbaris keluar dari pintu rumahnya dalam mengejar kebebasan,
mereka jatuh tepat ke dalam jebakan salon kecantikan kapitalis. Pasar
kapitalis telah memanipulasi wanita untuk membelanjankan lebih dari $33
milyar setiap tahun untuk produk diet, $20 milyar untuk produk kosmetik,
$300 milyar untuk bedah kecantikan dan lebih dari $7 milyar dalam
pornografi.
Di bagian lagi sang penulis berkata:
Industri mode menekan wanita untuk berperang dengan tubuh alami
mereka sendiri melalui bedah kosmetik, mencekik diri mereka dengan
pakaian dan rok ketat, membuat pincang kakinya dengan hak sepatu lancip
dan berlapar-lapar hingga membahayakan kesehatan mereka atas nama diet.
Mode dan trend. Tampil modis dan trendi. Betapa banyak orang yang
merasa gagal dan menjadi kehilangan kepercayaan diri bahkan frustrasi
ketika tidak (mampu) mengikuti mode atau trend. Bukankah jilbab pun
akhirnya diperlakukan sama, agar selalu mengikuti mode dan tren yang
sedang ‘in’?. Bukankah jilbab kemudian kehilangan ensensinya
sebagai penutup aurat dan lebih dimaksudkan untuk tampil menarik dalam
paduan kaos pendek dan ketat dengan celana yang membentuk setiap lekukan
tubuh, ditambah sepatu hak tinggi lancip yang menyebabkan setiap ayunan
langkah membuat risih orang yang memandang?
Ya, itu semua demi untuk memenuhi selera pasar (atau pasaran) yang
menghendaki wanita tampil cantik dan menarik. Menurut anda, siapa
sebenarnya yang diuntungkan dengan penampilan cantik seorang wanita?
Wanita itu sendiri kah? Atau para penikmat asing di luar sana? Sadar
atau tidak, sebagian besar penikmat kecantikan itu adalah orang-orang di
luar sana. Para lelaki yang tidak anda kenal yang terdiri dari berbagai
macam karakter, dengan berbagai macam ide dan hayalan yang bisa timbul
di benak mereka yang distimulasi oleh penampilan anda.
Tahukah anda bahwa sebagaimana layaknya barang publik, maka dalam kasus penampilan cantik pun ada saja yang namanya ‘free rider’,
alias orang-orang yang menarik manfaat dari penampilan cantik tersebut,
meskipun kecantikan itu tidak ditujukan untuk menarik perhatiannya.
Jangan salahkan mata liar laki-laki berpemikiran mesum pada penampilan
anda, karena kecantikan anda adalah barang publik, yang memang
dipertontonkan untuk umum. Hanya sekedar melilitkan kerudung kecil di
kepala dan balutan pakaian ketat di sekujur tubuh dan pengakuan bahwa
itu adalah jilbab, tidak menjadikan diri anda terlindung dari pengamatan
jahil laki-laki iseng.
Sebagian wanita dengan enteng mengatakan, “Hak saya untuk berpenampilan seperti yang saya inginkan. Soal orang lain kemudian berpikiran ‘kotor’ itu salah mereka.”
Loh? Bukankah anda sendiri yang menempatkan diri anda sebagai ‘obyek’
tontonan yang menggoda? Bukankah pelecehan seksual yang banyak terjadi
atas kaum wanita diantaranya disebabkan oleh penampilan menggoda sang
wanita itu sendiri? Bukankah kaum wanita itu sendiri yang telah
menempatkan dirinya pada posisi rawan, rentan terhadap aksi pelecehan
sementara dirinya sendiri lemah, tidak memiliki kemampuan untuk melawan?
Tanggung jawab untuk melindungi kehormatan wanita adalah dimulai dari
diri mereka sendiri. Mengapa justru memancing di air keruh?
Maaf, saya tidak hendak mengatakan bahwa keinginan untuk tampil
cantik itu salah. Ingin tampil cantik dan menarik adalah tabiat wanita. Semua wanita saya kira sama pada kadar tertentu, ingin selalu terlihat cantik. Akan tetapi kecantikan bukanlah barang publik.
Tidak ditentukan oleh trend di majalah mode. Kecantikan bukanlah
kesepakatan orang (baca : kaum laki-laki) atas diri anda bahwa
penampilan anda super. Kecantikan itu tidak ditunjukkan dengan jilbab gaul
yang trendi, yang membalut ketat seluruh tubuh disertai riasan-riasan
sehingga tampil menggoda. Bukan! Bukan itu! Jangan seperti itu! Jilbab
syar’i tidak seperti itu!
Anda adalah pribadi yang bebas, yang mandiri! Anda adalah subyek,
bukan obyek! Anda adalah wanita yang dimuliakan di dalam Islam, yang
dilindungi dengan seperangkat aturan untuk menjaga kehormatannya. Islam
memerintahkan untuk menutup diri dengan pakaian malu bukan untuk
mengucilkan anda dari pergaulan, tetapi justru untuk melindungi
kehornmatan anda.
Anda adalah seorang yang merdeka, bukan benda yang bisa dinilai,
ditaksir dan diberi label harga yang pantas, sehingga untuk medapatkan
label harga yang tinggi atas kecantikan itu, anda rela melakukan berbagai cara, meski menyakiti diri dan menabrak norma-norma syar’i.
Anda bukan wanita lemah tanpa daya yang selalu terombang-ambing mengikuti arus pasar kapitalis dan para penyerunya. Tidak!
Anda lebih berharga daripada wanita pembeo yang latah pada perkembangan mode. Anda jauh lebih berharga dari itu!
Menutup aurat dengan jilbab syar’i bukanlah kungkungan
dan bukan pula keterbelakangan, akan tetapi kebebasan. Terbebas dari
padangan mata iseng yang melihat wanita dan kecantikannya hanya sekedar
obyek. Kebebasan untuk menunjukkan sikap dan menentukan pilihan; pilihan
pada sesuatu yang Allah ridhai. Menjadikan diri anda subyek, pribadi
yang dihargai kecerdasannya, agama dan akhlaknya, karakter dan
kepribadiannya, dan bukan sekedar penghargaan pada fisiknya, atau isi
rekeningnya.
Dan seperti kata Mr. Patel dalam judul bukunya, ‘Islam adalah pilihan bagi wanita yang berakal’,
sebuah pertanyaan terlintas, “seberapa cerdas kita kaum muslimah,
menjadikan Islam sebagai pilihan?” Bukan sesuatu yang mudah dijawab,
apalagi diimplemetasikan. Setidaknya pada tataran penampilan kita bisa
mulai berbenah diri agar tidak terjebak dalam tirani kecantikan dan
belajar untuk memilih yang terbaik, keberanian untuk mengakui identitas
sebagai seorang muslimah yang menampakkan rasa malu, dengan mengenakan
jilbab syar’i.
Wallahu a’lam.
sumber : Islam Diaries